Jalanan Jakarta, kini sudah ramai dengan tukang ojek dengan
atribut dominan hijau di jaket dan helmnya, serta tulisan besar GO-JEK. Go-jek
benar-benar menjadi sebuah fenomena lifestyle baru dalam kehidupan Jakarta,
terutama saat menghadapi macetnya jalanan yang kian parah setiap harinya.
Namun keberhasilan Go-Jek tidak lepas dari berbagai tantangan yang
muncul, terutama dari segi sumber daya manusianya. Pengemudi Go-Jek benar-benar
merupakan ujung tombak dari pelayanan jasa pengantaran barang dan manusia ini.
Baru-baru ini, ramai dibicarakan mengenai perilaku pengemudi gojek
yang marah-marah dan bahkan mengancam pelangannya yang kecewa karena diturunkan
tidak pada tempat yang dituju sebelumnya. Pengguna gojek ini seharusnya turun
di suatu tempat di sisi jalan lain. Namun karena kemacetan yang parah, sang
pengemudi gojek enggan untuk putar balik dan meminta pengguna gojek ini untuk
turun dan menyeberang saja.
Tentu saja, pengguna gojek akhirnya memberikan bad review atas
pelayanan kurang menyenangkan yang diberikan oleh pengguna gojek ini. Namun,
bukan berkaca dan belajar dari kesalahan, pengemudi gojek ini malah mengirimkan
pesan sms dengan nada mengancam kepada pengguna gojek tersebut.
Tentu hal ini tidak hanya mengecewakan pelanggan gojek, namun juga
memberikan ketakutan baru pada penggunanya, mengingat pengendara gojek ini kemudian
bisa mengetahui data diri pengguna dengan lengkap dan parahnya memanfaatkan data
itu untuk mengancam si pemberi review buruk.
Dalam menjalankan bisnis jasa, tentu hal ini tidak boleh sampai
terjadi, karena akan mencoreng nama baik perusahaan. Perusahaan gojek dianggap
tidak bisa mendidik karyawan dengan baik. Hal ini bisa terjadi bila Gojek tidak
melakukan manajemen sumber daya manusia dengan baik.
Menurut
Drs. Bambang Wahyudi, Manajemen sumber daya manusia menunjukkan suatu
pengertian bahwa tenaga kerja sebagai sumber daya yang diperoleh, dikembangkan
dan dipelihara harus memiliki kompetensi dalam arti mempunyai kemampuan dan
kemauan kerja yang sesuai dan mendukung tugas-tugas yang menjadi
tanggungjawabnya.
Nah..
dalam proses recruitment pengemudi gojek, mestinya Manajemen Go-Jek memastikan
bahwa pengemudi gojeknya tidak hanya memiliki kemampuan untuk menjadi pengemudi
ojek yang baik, namun juga kemauan kerja yang sesuai dengan standart yang ditetapkan
oleh manajemen Go-Jek. Bila
proses wawancara dan tes kepribadian saat rekruitmen pengemudi Go-Jek ini dapat
berjalan dengan baik, tentunya sikap-sikap yang tidak pantas ini bisa
dihindari.
Melihat
kasus di atas, pengemudi gojek ini sepertinya hanya mau enaknya saja. Tidak mau
memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggannya, dan tidak terima diberikan
penilaian buruk, walau jelas-jelas dia tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Bila
ditarik kebelakang, kasus ini juga bisa terjadi karena kurang maksimalnya
proses indoktrinasi dalam manajemen sumber daya manusia tersebut. Karena menurut
Andrew F. Sikula, Manajemen Sumber Daya Manusia adalah proses penarikan,
penyeleksian, penempatan, indoktrinasi, pelatihan dana pengembangan sumber daya
manusia oleh dan di dalam suatu perusahaan.
Indoktrinasi
sendiri adalah sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu system nilai untuk
menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu.
Perusahaan
Go-Jek dapat menanamkan system berpikir dan perilaku tertentu pada
pengemudinya. Namun indoktrinasi yang dilakukan oleh manajemen Go-Jek adalah bagaimana pengemudi dapat memuaskan pelanggan yang dibuktikan dengan rating yang tinggi. Dan pada kenyataannya, para pengemudi kemudian hanya fokus pada rating saja dan melupakan tujuan awalnya yaitu kepuasan pelanggan.
Selain itu, sistem
rating serta standar-standar yang ditetapkan Go-Jek membuat para pengemudi
gojek ini berpikir untuk mendapatkan rating yang baik, setidaknya mereka harus
memenuhi standar-standar yang ditetapkan. Namun mereka tidak dilatih untuk
memberikan pelayanan terbaik yang membuat nyaman dan menyenangkan bagi para
pelanggannya.
Pihak
Go-Jek pun sepertinya tidak terlalu memperhatikan, bagaimana pengemudinya tersebut
mendapatkan rating baik dari pelanggan. Tentunya penilaian yang baik, harus di
dapat dengan cara yang baik dan benar. Yaitu setelah pengemudi memberikan
pelayanan yang baik. Bukan dengan cara memaksa, ataupun merayu apalagi
mengancam.
Kalau
menilik dari bisnis pelayanan yang nyaris serupa seperti perusahaan blue bird
yang juga memberikan layanan jasa transportasi, dimana pengemudinya dengan
kreatif memberikan pelayanan-pelayanan plus demi membuat pelanggannya nyaman. Bukan
demi rating semata.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa kasus sikap kasar pengemudi gojek tersebut dapat
terjadi, selain karena faktor pengemudi dan manajemen gojek sendiri. Dari sisi
pengemudi, ini terjadi karena kurangnya kemauan dari pengemudi gojek untuk
memberikan layanan terbaik dengan tulus dan sungguh-sungguh.
Sementara dari manajemen gojek sendiri juga memberi andil atas terjadinya sikap-sikap
kasar dan semena-mena para pengemudi karena indoktrinasi yang salah bahwa hal yang penting bagi para pengemudi adalah mendapatkan rating yang baik, bukan pelayanan yang baik. Sehingga pengemudi tidak peduli bagaimana mereka bisa
mendapatkan rating tinggi itu, selain memenuhi standar-standar yang ditetapkan
perusahaan.
Untuk
itu, saya menyarankan agar manajemen Go-Jek dapat memperbaiki manajemennya,
dengan memberikan kesadaran kepada pengemudi bahwa kepuasan pelanggan adalah
segalanya. Jauh lebih penting dari sekedar angka-angka rating ini.
Pihak
Go-Jek juga sebaiknya menseleksi betul calon-calon pengemudinya, baik saat
wawancara, maupun tes kepribadian, sebelum menerima mereka menjadi bagian dari
manajemen Go-Jek. Demi nama baik perusahaan Go-Jek juga.
Semoga
kita sebagai pelanggan bisa menikmati layanan ojek online yang lebih baik
dimasa yang akan datang.